Pengukuhan Pengurus NU Sumut 2017-2022
Senin, 6 Agustus 2018
(Analisa/Medan/Sugiatmo)
Islam di nusantara bermakna kehidupan Islam di tanah air Indonesia (dan sekitarnya) untuk hidup bersama-sama mengejawantahkan Islam dengan budaya dan kearifan lokal, yakni antara Islam dengan Islam atau ukhuwah islamiah, dan dengan di luar Islam atau ukhuwah wathoniah / basyariah.
Impelentasi dari Islam Nusantara adalah, jika dalam ajaran agama memerintahkan sedekah, dan zikir maka diimplementasikan dalam Islam Nusantara dengan istilah tahlilan. Begitu juga perintah agama untuk bersilaturahmi, saling memberi maaf satu sama lain. Dalam Islam Nusantara dijewantahkan dengan istilah mudik dan halal bi halal. Termasuk implementasi yang telah diwariskan misalnya pada adat dan budaya minang, “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi kitabullah”, termasuk semangat dan visi “Islam Nusantara”.
Demikian halnya perintah agama untuk memberikan nama kepada anak dengan sebutan yang baik-baik, misalnya Ahmad, Abdullah, dll. Lalu nusantaranya jika di Sumatera Utara adalah menjadi Nasution, Hasibuan, Tambunan, dan lainnya. “Inilah berbagai contoh sederhana tentang pemahaman Islam Nusantara. Jadi Islam Nusantara bukanlah agama baru, tetapi penguatan khasanah budaya bangsa”, kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr Marsudi Syuhud, dalam Pelantikan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Utara Masa Khidmat 2017-2022, pada Sabtu 4 Agustus 2018 di halaman Kampus Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara (UNUSU) Jalan HA Abdul Manaf Lubis, Gaperta Ujung, Medan.
Kemudian ditegaskan Marsudi Syuhud, Islam Nusantara adalah Islam yang menghargai budaya. Karena budaya adalah fitrah. Budaya lahir melalui pikiran yang berlandas Alquran dan hadis. Jika budaya sudah menjadi kultur walaupun tidak diperintah menjadi keharusan yang harus dilaksanakan.
“Dasar inilah para pendahulu bangsa membuat kultur budaya di nusantara. Bagi Nahdlatul Ulama menyikapi budaya seperti Rasulullah menyikapinya”. Rasulullah, menurut Marsudi, melestarikan budaya langsung diadopsi jika sudah sesuai dengan syariat Islam. Tapi ada kalanya dimodipikasi jika sebahagian budaya belum sesuai syariat. Dicontohkan akikah sudah ada sebelum Islam datang. Namun ketika itu budaya jahiliyah terhadap akikah itu menyembelih domba, dan darah domba itu dioleskan di kepala sang bayi yang baru lahir kemudian ditabalkan namanya.
Rasulullah melihat budaya ini dilihat dan dimodifikasi dengan tetap menyembelih kambing, tetapi mengoleskan darah kambing diganti dengan minyak wangi. “Inilah yang ditiru Nahdlatul Ulama dalam menghidupkan budaya-budaya di nusantara,” ujar Marsudi.
Ditegaskan, budaya yang bertentangan dengan Islam dimodifikasi. Zaman dahulu orang ingin menanam padi mengimplementasikan untuk meminta keselamatan dengan membawa tumpeng kecil dan jajan pasar diletakkan di pojok sawah. Dengan harapan hasil panennya melimpah dan jauh dari serangan hama penyakit.
Para wali mengetahui hal ini kemudian diluruskan dengan acara tumpengan di rumah dibarengi dengan sedekah mengundang para tetangga serta membaca doa bersama dengan harapan mendapat barakah dari Allah. Jadi budaya yang belum sesuai syariat dimodifikasi.
“Inilah khasanah Islam di Nusantara yang tidak ada di negara-negara Islam lainnya. Begitu juga peringatan Maulid Nabi merupakan khasanah nusantara, yang merupakan kreativitas para ulama. Khasanah-khasanah semacam inilah yang harus terus dijaga,” tegasnya.
Disebutkan, Nahdlatul Ulama menyayangkan media sosial yang mempresentasikan Islam Nusantara dengan berbagai pemikiran yang pada akhirnya membenturkan ukuwah islamiyah. Diharapkan masyarakat lebih cerdas dalam memahami persoalan dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan mencari tahu dari sumber yang benar.
Kembali ditegaskan Marsudi, Islam Nusantara mempunyai khasanah atau kebaikan-kebaikan tersendiri yang negara-negara lain tidak memilikinya. Maka Islam Nusantara akan tetap membawa kebaikan di tengah-tengah umat. “ Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, juga bagian dari nusantara. Jadi kita jangan mau dipecah belah karena persoalan pemahaman nusantara yang salah,” ujarnya.
Sebelumnya Ketua PWNU Sumut, Drs H Afifuddin Lubis menyampaikan, sebelum pelantikan ini pengurus wilayah sudah menggelar Madrasah Kader NU, dan berbagai kerja sama untuk penguatan lembaga. Berharap NU ke depan memberi kontribusi besar bagi bangsa dan pengurus dan lembaga-lembaga NU yang baru dilantik dapat bersinergi untuk membesarkan organisasi.
Ketua Panitia H Adlin Damanik melaporkan, rangkaian kegiatan pelantikan PWNU Sumut ini diisi dengan Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) yang diikuti pengurus NU Sumut dan pimpinan cabang NU seluruh kabupaten dan kota, Banom, dan Lembaga se-Sumut. Dalam Mukerwil peserta mendapat pembekalan dari PBNU, Pangdam I Bukit Barisan, dan Kapolda Sumut.
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sumut yang dilantik di antaranya, Rois Syuriah KH Mahmuddin Pasaribu, Katib Syuriah H. Abrar M. Dawud Faza, Ketua H. Afifuddin Lubis, dan Sekretaris H Muhammad Hatta Siregar, dan para wakil-wakil serta lembaga-lembaga. Pada acara itu juga dilakukan peletakan batu pertama pembangunan kampus serta masjid UNUSU.
Keterangan Gambar: (BENDERA PATAKA: Ketua PBNU Dr Marsudi Syuhud, menyerahkan bendera pataka NU kepada Ketua PWNU Sumut H Afifuddin Lubis usai dilantik, Sabtu (4/8) di halaman Kampus UNUSU Jalan HA Abdul Manaf Lubis, Gaperta Ujung, Medan).
Sumber : http://harian.analisadaily.com/kota/news/islam-nusantara-adalah-penguatan-khasanah-bangsa/597915/2018/08/06